Ia... perempuan berwajah puisi
dari senyumnya,
air mata itu menetes pelan-pelan..
bersama diamnya yang tak berkesudahan...
demi sang laki-laki yang Ia sayangi...
namun air matanya entah berwarna apa..
isaknya entah berwangi apa...
berasa apa?
dan.....
Ia adalah lirik yang mana?
Ia adalah nada yang mana?
simfoni yang mana?
dan...
keikhlasan apa?
tapi sungguh...
tulus kusimpan kecupku di keningnya..
demi puisi yang ia puisikan lagi..
Rabu, 13 Januari 2010
Pagi Ini, Itu Menjadi Trauma...!!!
Camar-camar itu mulai tertawa manis..
instrument pagi pun hadir
tersenyum sangat indah...
selepas badai fatamorgana tadi malam...
selepas malam yang terlalu pekat…
dan jahat...
sepertinya kedinginan yang semalam selimuti smuanya...
juga membekukan semuanya…
sepertinya juga mulai retas...
pasti…
sedikit demi sedikit..
tapi kenapa,
aku dan jiwaku malah kembali kalap...???
mungkin sebab semalam aku lihat...
di mataku engkau begitu garang…
mengajakku hampa
dan aku rasa...
sangat perih…
lalu pagi ini, itu menjadi trauma…
memang, ternyata pagi ini tak secerah itu..
hujan gerimis malah datang seperti air mata basahi hati lelahku
tapi bukankah ada pelangi setelah ini..??
ataukah pelangi itu hanyalah ilusi..??
entahlah… sebab akupun malas untuk berhenti mencari
cinta yang sengaja pernah kuhapus…
instrument pagi pun hadir
tersenyum sangat indah...
selepas badai fatamorgana tadi malam...
selepas malam yang terlalu pekat…
dan jahat...
sepertinya kedinginan yang semalam selimuti smuanya...
juga membekukan semuanya…
sepertinya juga mulai retas...
pasti…
sedikit demi sedikit..
tapi kenapa,
aku dan jiwaku malah kembali kalap...???
mungkin sebab semalam aku lihat...
di mataku engkau begitu garang…
mengajakku hampa
dan aku rasa...
sangat perih…
lalu pagi ini, itu menjadi trauma…
memang, ternyata pagi ini tak secerah itu..
hujan gerimis malah datang seperti air mata basahi hati lelahku
tapi bukankah ada pelangi setelah ini..??
ataukah pelangi itu hanyalah ilusi..??
entahlah… sebab akupun malas untuk berhenti mencari
cinta yang sengaja pernah kuhapus…
Yang Kini Mengadu...!!!
Ditulis di Makassar
tgl 26 Oktober 2009
pada yang menemaninya di penghujung jarak...
pada yang menghempas di segala resapan nilai...
juga pada yang turut menandai sebuah hasrat yang hampir lampus...
Hei kau yang berlari...
yang sengaja memenjara kekerdilanmu pada sauna kepedihan...
bukalah jiwamu.. lalu LIHAT...!!!
begitu luas dan dalam oase air mata yg telah kau cipta di kemarin lusa...
bahkan disitu... kerap ada warni yang tak lagi di kenali musim...
Disitu...
ada aku yang berdiri sangat sayu...
entah mematung... atau berpasrah..
sungguh...
kurindu belai sayangmu dindaku...
tgl 26 Oktober 2009
pada yang menemaninya di penghujung jarak...
pada yang menghempas di segala resapan nilai...
juga pada yang turut menandai sebuah hasrat yang hampir lampus...
Hei kau yang berlari...
yang sengaja memenjara kekerdilanmu pada sauna kepedihan...
bukalah jiwamu.. lalu LIHAT...!!!
begitu luas dan dalam oase air mata yg telah kau cipta di kemarin lusa...
bahkan disitu... kerap ada warni yang tak lagi di kenali musim...
Disitu...
ada aku yang berdiri sangat sayu...
entah mematung... atau berpasrah..
sungguh...
kurindu belai sayangmu dindaku...
Rindu yang bernama Tondong Kura
pada Tondong Kura
ada sebuah rindu yang ia tujukan
tanah dulu ia dibesarkan
disini
masa kecil dihabiskannya dalam kehangatan alam
bersama teman-teman tercintanya
masa manakah lagi yang lebih menawan selain disini baginya?
tentang Kadieng
Madidi
Pallabuang
pada air sungainyalah, yang deras, yang jernih,
tempat beberapa bocah kecil belajar berenang
merenangi keremajaan
tentang sawah-sawah yang siap ditanami padi
ia disana
bermain bersama air
riang bersama lumpur
tentang ikan emas di air mancur segitiga jantung desa itu
yang juga temannya bermain
tepat depan rumah kakeknya
ahh. rumah kakeknya
kini hanya gubuk yang tak lagi dihuni selain kenangan
sebentar lagi lapuk lalu roboh
tak kuasa melawan waktu
kakeknya
yang memperpahamkannya bahwa hidup adalah pengabdian
kehidupan adalah ketulusan
adalah kejujuran
lalu kini
indah peta masa kecil itu
berganti, dan terganti setumpuk kepentingan
mengabur oleh keserakahan
mengapa budayamu yang dulu perkasa itu
kini terhempas banyak ketamakan?
tidak bermakna lagikah bagimu
jika datang air mata
menetes rindu untukmu
iya
selalu ia bawa pulang
rindunya
diantarkannya kembali
mengaji alif batasa
di penghujung senja kelak
di pangkuanmu.
ada sebuah rindu yang ia tujukan
tanah dulu ia dibesarkan
disini
masa kecil dihabiskannya dalam kehangatan alam
bersama teman-teman tercintanya
masa manakah lagi yang lebih menawan selain disini baginya?
tentang Kadieng
Madidi
Pallabuang
pada air sungainyalah, yang deras, yang jernih,
tempat beberapa bocah kecil belajar berenang
merenangi keremajaan
tentang sawah-sawah yang siap ditanami padi
ia disana
bermain bersama air
riang bersama lumpur
tentang ikan emas di air mancur segitiga jantung desa itu
yang juga temannya bermain
tepat depan rumah kakeknya
ahh. rumah kakeknya
kini hanya gubuk yang tak lagi dihuni selain kenangan
sebentar lagi lapuk lalu roboh
tak kuasa melawan waktu
kakeknya
yang memperpahamkannya bahwa hidup adalah pengabdian
kehidupan adalah ketulusan
adalah kejujuran
lalu kini
indah peta masa kecil itu
berganti, dan terganti setumpuk kepentingan
mengabur oleh keserakahan
mengapa budayamu yang dulu perkasa itu
kini terhempas banyak ketamakan?
tidak bermakna lagikah bagimu
jika datang air mata
menetes rindu untukmu
iya
selalu ia bawa pulang
rindunya
diantarkannya kembali
mengaji alif batasa
di penghujung senja kelak
di pangkuanmu.
DEMI MATAHARI
Cintaku padamu seputih salju
Sebesar kala ia menggunung
Namun rela leleh lalu memusnah
Kala matahari kesadaranmu akhirnya menjemputmu
Cintaku padamu juga sebening embun pagi
Sejernih kala ia tertetes namun ikhlas menguap dan menghilang
Kala matahari hatimu kkhirnya menguapkannya
Cintaku padamu lebih indah dari pelangi selepas hujan
Jauh lebih bersahaja dari seluruh sketsa warna-warninya
Namun rela memudar
Demi matahari yang akhirnya bersinar cerah menyertai perjalanan hidupmu
Cintaku padamu segemerlap gemintang
Banyak bertaburan hingga kau tak mampu membilangnya
Namun ikhlas setulus-tulusnya tergantikan
Oleh sejuta matahari pengharapanmu
Sayangku padamu seteduh purnama
Juga sebulat janjinya untuk melepas sinarnya
Untuk matahari jiwamu
Sebesar kala ia menggunung
Namun rela leleh lalu memusnah
Kala matahari kesadaranmu akhirnya menjemputmu
Cintaku padamu juga sebening embun pagi
Sejernih kala ia tertetes namun ikhlas menguap dan menghilang
Kala matahari hatimu kkhirnya menguapkannya
Cintaku padamu lebih indah dari pelangi selepas hujan
Jauh lebih bersahaja dari seluruh sketsa warna-warninya
Namun rela memudar
Demi matahari yang akhirnya bersinar cerah menyertai perjalanan hidupmu
Cintaku padamu segemerlap gemintang
Banyak bertaburan hingga kau tak mampu membilangnya
Namun ikhlas setulus-tulusnya tergantikan
Oleh sejuta matahari pengharapanmu
Sayangku padamu seteduh purnama
Juga sebulat janjinya untuk melepas sinarnya
Untuk matahari jiwamu
Langganan:
Postingan (Atom)
satu dan seterusnya (7)
waktu skrg menunjukkan kurang 9 menit jam 03.00 masih hari sabtu, 16 kosong satu 2010...hehe jadi keenakan belajar nulis... 7. tema kali ini...
-
Ia... perempuan berwajah puisi dari senyumnya, air mata itu menetes pelan-pelan.. bersama diamnya yang tak berkesudahan... demi sang laki-la...
-
waktu skrg menunjukkan kurang 9 menit jam 03.00 masih hari sabtu, 16 kosong satu 2010...hehe jadi keenakan belajar nulis... 7. tema kali ini...
-
nah.... malam tadi tidur jam 1.00, terbangun jam 04,50... pas bangun, si Ulla (my cousin) masih asik aja maen FB (maklum lagi dapat hotspot ...